Kedudukan Surat Edaran Menteri
Dalam rangka penyusunan tertib peraturan perundang-undangan, perlu
dibedakan dengan tegas antara putusan-putusan yang bersifat mengatur (regeling)
dari putusan-putusan yang bersifat penetapan administratif (beschikking).
Semua pejabat tinggi pemerintahan yang memegang kedudukan politis berwenang
mengeluarkan keputusan-keputusan yang bersifat administratif, misalnya untuk
mengangkat dan memberhentikan pejabat, membentuk dan membubarkan kepanitiaan,
dan sebagainya. Secara hukum, semua jenis putusan tersebut dianggap penting
dalam perkembangan hukum nasional. Akan tetapi, pengertian peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit perlu dibatasi ataupun sekurang-kurangnya
dibedakan secara tegas karena elemen pengaturan (regeling) kepentingan
publik dan menyangkut hubungan-hubungan hukum atau hubungan hak dan kewajiban
di antara sesama warganegara dan antara warga negara dengan negara dan
pemerintah.
Elemen pengaturan (regeling) inilah yang seharusnya dijadikan
kriteria suatu materi hukum dapat diatur dalam bentuk peraturan
perundang-undangan sesuai dengan tingkatannya secara hirarkis. Sebagai contoh,
Keputusan Presiden mengangkat seseorang menjadi Menteri, Keputusan Menteri yang
menetapkan pembentukan Panitia Nasional peringatan hari ulang tahun Departemen
tertentu, ataupun mengangkat dan memberhentikan pegawai negeri sipil, dan
lain-lain sebagainya. Materi-materi yang dituangkan dalam bentuk Keputusan
Presiden ataupun Keputusan Menteri seperti tersebut tidaklah mengandung elemen
regulasi sama sekali. Sifatnya hanya penetapan administratif (beschikking).
Dalam arti luas, keputusan-keputusan tersebut memang mengandung muatan
hukum, karena di dalamnya berisi hubungan-hubungan hak dan kewajiban dari para
pihak yang terlibat di dalamnya yang terbit karena putusan pejabat yang
berwenang dan juga didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah. Akan
tetapi, untuk kepentingan tertib peraturan perundang-undangan, bentuk-bentuk
hukum yang bersifat administratif tersebut, sebaiknya disebut dengan istilah
yang berbeda dari nomenklatur yang digunakan untuk bentuk-bentuk formal
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, yang termasuk dalam pengertian
peraturan perundang-undangan dalam arti sempit itu adalah UUD dan dokumen yang
sederajat, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Menteri dan Pejabat setingkat Menteri. Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur,
Bupati/Walikota, dan Peraturan Desa serta Peraturan Kepala Desa.
Sedangkan bentuk-bentuk putusan lainnya dapat dinamakan Ketetapan atau
Keputusan dengan tingkatan yang sederajat dengan peraturan yang terkait.
Misalnya, Ketetapan dan Keputusan MPR, meskipun bukan peraturan dalam pengertian
yang baru, tetapi tingkatannya sederajat dengan UUD dan Naskah Perubahan UUD
yang sama-sama merupakan produk MPR. Keputusan Presiden dapat disetarakan
tingkatannya dengan Peraturan Presiden, Keputusan Menteri sederajat dengan
Peraturan Menteri, Keputusan Gubernur dengan Peraturan Gubernur, Keputusan
Bupati/Walikota dengan Peraturan Bupati/Walikota, dan seterusnya.
Mengingat tingkatannya sederajat dengan bentuk-bentuk peraturan yang
dikeluarkan oleh pejabat berwenang terkait (ambtsdrager), maka tidak ada
salahnya apabila dalam susunan tata urut peraturan perundang-undangan yang baru
nanti, bentuk keputusan administratif tersebut juga turut dicantumkan dengan
pengertian bahwa putusan-putusan tersebut bersifat administratif (beschikking)
dan tidak berisi pengaturan terhadap kepentingan umum (publik).
Keputusan-keputusan yang bersifat administratif ini tidak dapat kita
kategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.
Di luar bentuk-bentuk peraturan yang bersifat mengatur itu, memang ada pula
bentuk-bentuk peraturan yang disebut dengan ‘beleidsregels’ (policy rules)
atau peraturan kebijakan. Bentuk peraturan kebijakan ini memang dapat juga
disebut peraturan, tetapi dasarnya hanya bertumpu pada aspek ‘doelmatigheid’
dalam rangka prinsip ‘freis ermessen’ atau ‘beoordelingsvrijheid’,
yaitu prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah untuk
mencapai tujuan pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum. Berdasarkan prinsip
ini, sudah seyogyanya suatu pemerintahan itu diberikan ruang gerak yang cukup
untuk berkreatifitas dalam usahanya melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, yang
tidak selalu atau bahkan tidak mungkin ditentukan secara rinci dalam bentuk peraturan-peraturan
yang kaku. Inilah yang pada mulanya menjadi dasar pembenar sehingga muncul
Keputusan-Keputusan Presiden yang turut mengatur, meskipun bukan dalam arti ‘regeling’
(public regulation).
Akan tetapi, agar kita konsisten dan konsekwen mengikuti sistematika
pemisahan kekuasaan legislatif dan eksekutif secara tegas, alangkah baik
kiranya prinsip ‘freis ermessen’ tersebut di atas tidak digunakan
sepanjang menyangkut pembuatan peraturan dalam arti teknis. Prinsip kebebasan
bertindak itu cukup diimplementasikan dalam bentuk Instruksi Presiden ataupun
Keputusan-Keputusan yang tidak diperlakukan sebagai peraturan, yang salah
satunya Surat Edaran Menteri.
Fenomena Surat Edaran Menteri dalam hierarki peraturan perundang-undangan
di Indonesia belum pernah termaktub secara konkrit dalam tata urutan
peraturan-perundang-undangan. Hal itu diakibatkan oleh adanya perdebatan
mengenai surat edaran menteri tersebut, apakah surat edaran termasuk dalam
kategori mengatur (regeling) atau bersifat penetapan (beschiking).
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan tidak disebutkan derajat dan hierarki Surat Edaran Menteri,
meskipun dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan ditegaskan bahwa Jenis
Peraturan Perundang-undangan selain tersebut dalam hierarki peraturan
perundang-undangan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat, tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Apabila kita kaitkan dengan Surat Edaran Menteri, maka dapat diurai
beberapa Kedudukan surat Edaran Menteri adalah sebagai berikut :
a. Surat Edaran Menteri Bukan Peraturan Perundang-undangan,
hal itu dikarenakan Surat Edaran Menteri tidak memuat tentang Norma tingkah
laku (Larangan, Perintah, Ijin dan pembebasan), Kewenangan (Berwenang
dan tidak berwenang), dan penetapan.
b. Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi
pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang
dianggap penting dan mendesak
c. Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk
menganulir peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya
untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.
d. Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat
biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang
harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat
pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma
e. Surat Edaran merupakan suatu “perintah” pejabat tertentu
kapada bawahannya/orang di bawah binaannya.
f. Surat Edaran sering dibuat dalam bentuk Surat Edaran
Menteri, Surat Edaran tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena pejabat
yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran.
g. Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlulan dasar
hukum karena Surat Edaran merupakan suata peraturan kebijakan yang diterbitkan
semata-mata berdasarkan kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor
sebagai dasar pertimbangan penerbitannya:
1)
Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak.
2)
Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh
ditafsirkan.
3) Substansi tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
4) Dapat dipertanggungjawabkan secara moril dengan
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
h. Surat Edaran adalah suatu perintah atau penjelasan yang
tidak berkekuatan hukum, tidak ada sanksi hukum bagi yang tidak mematuhinya
Keabsahan Surat Edaran Menteri
Di dalam teori hukum biasanya dibedakan antara 3 macam hal berlakunya hukum
sebagai kaidah, yaitu sebagai berikut:
1. Hukum Berlaku
Secara Yuridis
Apabila
ketentuannya didasarkan pada norma yang lebih tinggi tingkatannya (Hans
Kelsen), atau bial terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W.
Sevenbergen), atau apabila menunjukkkan keharusan antara suatu kondisi dan
akibatnya (J.H.A. Logemann). Keberlakuan yurudis atau normatif suatu peraturan
atau kaidah jika kaidah itu merupakan bagian dari suatu kaidah hukum tertentu
yang didalam kaidah-kaidah hukum saling menunjuk yang satu terhadap yang lain.
System kaidah hukum yang demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan Hierarki
kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah hukum umum. Di dalamnya kaidah
hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum yang lebih tinggi.
Keberlakuan
yurudis dari kaidah hukum memiliki syarat-syarat:
Pertama, keharusan adanya
kewenangan peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan
harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Jika tidak, maka peraturan
perundang-undangan tersebut batal demi hukum. Dianggap tidak pernah ada dan
segala akibatnya batal secara hukum. Misalnya, peraturan perundang-undangan
formal harus dibuat bersama-sama antara presiden dengan DPR, jika tidak, maka
UU tersebut batal demi hukum.
Kedua, keharusan adanya
kesesuaian bentuk atau jenis atu peraturan perundang-undangan dengan materi
yang diatur, terutama kalu diperintah oleh peraturan perundang-undangan lebih
tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk
membatalkan perundang-undangan tersebut. Misalnya, kalau UUD 1945 atau UU
terdahulu menyatakan bahwa sesuatu harus diatur UU, maka dalam bentuk UU -lah
hal itu diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya keputusan Presiden,
maka keputusan tersebut dapat dibatalkan.
Ketiga, keharusan
mengikuti tatacara tertentu. Apabila tatcara tersebut tidak diikuti, maka
peraturan perundang-undangan tersebut batal, demi hukum atau tidak/belum memiliki
kekuatan hukum yang mengikat. Misalnya, peraturan daerah dibuat bersama-sama
antara DPRD dan kepala daerah, kalu ada peraturan daerah tanpa mencantumkan
persetujuan DPRD, maka batal demi hukum.
Keempat, keharusan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Suatu UU tidak boleh mengandung kaidah yang bertentang dengan
UUD.
Dalam kaitan kaidah
hukum dengan dasar berlaku secara yuridis dari peraturan perundang-undangan,
maka ada beberapa pendapat :
1) Setiap kaidah
hukum berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya;
2) Kaidah hukum harus
memenuhi syarat-syarat pembentukannya; dan
3) Kaidah hukum
mengikat kalau menunjukkan hubungan keharusan (hubungan memaksa) antara satu
kondisi dengan akibatnya.
2. Hukum Berlaku
Secara Sosiologis,
Apabila kaidah
tersebut efektif. Artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh
penguasa walaupun tidak diterima oleh masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah
tadi berlaku karena diterima atau diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).
Dasar berlaku secara empiris/sosiologis maksudnya adalah jika para warga
masyarakat mematuhi hukum dimana hukum itu diberlakukan. Keberlakuan empiris
dapat dilihat melalui sarana penelitan empiris tentang perilaku warga
masyarakat. Jika dari penelitan tersebut tampak bahwa masyarakat berperilaku
dengan mengacu kepada keseluruhan kaidah hukum, maka terdapat keberlakuan
empiris kaidah hukum. Dengan demikian, norma hukum mencerminkan kenyataan yang
hidup dalam masyarakat.
Dengan dasar
sosiologis peraturan perundang-undangan yang dibuat dan diterima oleh
masyarakat secara wajar bahkan spontan. Ada dua landasan teoretis sebagai dasar
sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu: Teori kekuasaan secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa (terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat, dan Teori pengakuan dimana kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat setempat dimana hukum itu berlaku.
Terkait dengan
keberlakuan empiris kaidah hukum dalam masyarakat, bahwa The legal system is
not a machine, it is run by human being. Interpendensi fungsional selalu
akan tampak dalam proses pemberlakuan/penegakan hukum. Lebih lanjut, bahwa
paling tidak ada 3 faktor yang cukup dominan yang mempengaruhi proses penegakan
hukum, yakni:
Pertama, faktor substansi
hukum dimaksudkan adalah aturan, norma, pola prilaku nyata manusia yang berada
dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang
berada dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan
baru yang mereka susun. Substansi juga juga mencakup living law (hukum
yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang.
Kedua, faktor-faktor
struktural dalam hal ini adalah bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia, misalnya kita
berbicara tentang struktur sistim hukum Indonesia, maka termasuk didalamnya
struktur institusi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan. Juga termasuk unsur struktur jumlah dan jenis pangadilan,
yurisdiksinya jenis kasus yang berwenang untuk diperiksa, serta bagaimana dan
mangapa. Jelasnya struktur bagaikan foto diam yang menghentikan gerak.
Ketiga, faktor kultural
dalam hal ini sikap manusia dan sistim hukum kepercayaan, nilai pemikiran,
serta harapannya. Dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pikiran yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalah-gunakan. Tanpa
kultur hukum, hukum tak berdaya.
3. Hukum tersebut
berlaku secara filosofis
Artinya sesuai
dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi. Setiap masyarakat
selalu mempunyai “Rechtsidee”, yakni apa yang masyarakat harapkan dari hukum,
misalnya hukum menjamin adanya keadilan, kemenfaatan dan ketertiban, maupun
kesejahteraan. Cita hukum atau rechtsidee tumbuh dalam sistem nilai masyarakat
tentang baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan
kemasyarakat dan lain sebaginya. Termasuk tentang pandangan dunia ghaib. Semua
ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat
sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistim nilai baik sebagai sarana yang
melindung nilai-nilai maupun sebagi saran mewujudkannya dalam tingkah laku
masyarakat.
Cita-cita hukum
adalah konstruksi pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada
cita-cita yang diinginkan masyarakat, dan cita-cita hukum berfungsi sebagai
tolok ukur yang bersifat regulative dan kontruktif. Tanpa cita hukum-hukum akan
kehilangan maknanya. Di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
proses terwujudnya nilai-nilai yang terkandung dalam cita-cita hukum ke dalam
norma hukum tergantung pada tingkat kesadaran dan penghayatan akan nilai-nilai
tersebut oleh para pembentuk peraturan perundang-undangan. Tiadanya kesadaran
akan nilai-nilai tersebut akan terjadi kesenjangan antara cita-cita hukum dan
norma hukum yang dibuat.
Kesimpulan
Apabila dihubungkan dengan surat edaran menteri dikaitkan dengan keabsahan
secara Yuridis, Filosofis dan Yuridis adalah sebagai berikut :
1) Secara Yuridis
pengaturan mengnai Surat Edaran Menteri tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan manapun, namun bagian dari freis ermessen dari
pemerintah untuk mengeluarkan apapun yang dianggap baik dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan manapun.
2) Secara Filosofis,
surat edaran menteri merupakan hal yang merupakan kebutuhan teknis untuk
memperjelas norma-norma yang ada diatasnya yang belum jelas, sehingga diatur
lebih lanjut melalui surat edaran.
3) Secara Sosiologis,
surat edaran menteri sangat dibutuhkan dalam kondisi yang mendesak dan untuk
memenuhi kekosongan hukum, akan tetapi jangan sampai peraturan menteri
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dengan demikian apabila dipertanyakan tentang keabsahannya, maka dapat
disimpulkan bahwa surat edaran menteri tetap harus dianggap sah sepanjang
mengatur tingkat internal vertikal pejabat tata usaha negara di lingkungannya,
dengan tetap mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis dan sosiologis dalam
pembentukan dan pelaksanaannya dilapangan.
Dan akhir kata bahwa Surat Edaran Menteri itu dapat kesimpulan
sebagai berikut:
1) Kedudukan Surat Edaran Menteri dalam sistem hukum di Indonesia, bukan
termasuk sebagai kategori Peraturan Perundang-Undangan, hal itu dikarenakan
surat edaran menteri tidak memenuhi unsur-unsur sebagai norma hukum.
2) Keabsahan surat Edaran Menteri harus tetap dianggap sah sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan tetap
mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis dan sosiologis dalam pembentukan dan
pelaksanaannya
3) Diharapkan hukum positif di Indonesia lebih memperjelas dan mempertegas
lagi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga produk surat
edaran dapat diminimalisir, apabila belum dapat dilaksanakan maka diupayakan
agar terdapat pemisahan antara produk hukum yang bersifat mengatur dan bersifat
penetapan.
4) Keabsahan Surat edaran menteri harus tertuang secara resmi dalam peraturan
perundang-undangan, sehingga tidak dapat menimbukan multi tafsir tentang
keberadaannya.